Di saat candu tembakau sudah mengakar erat di masyarakat kita, maka diperlukan kebijakan komprehensif, sistematis serta bertahap, bukan hanya kebijakan yang berlaku sepihak. Apalagi jika persoalan tembakau ini menyangkut hajat hidup orang banyak, terutama golongan menengah ke bawah.
Akan sulit dan tidak menjadi kebijakan populis jika pemerintah dengan serta merta melarang rokok. Yang harus dilakukan adalah dengan mengurangi tingkat konsumsi dan produksinya secara betahap. Ini pun menghadapi dilema dengan penghasilan negara.
Terkait dengan fatwa haram rokok, Ditjen Bea Cukai Kementerian Keuangan sekarang sedang menghitung potensi penurunan penerimaan cukai setelah satu hingga dua bulan fatwa itu dikeluarkan. "Saya kira fatwa itu harus tetap kita hormati.Tapi, kita akui fatwa haram rokok akan sangat berpengaruh terhadap penerimaan cukai," ujar Dirjen Bea Cukai Thomas Sugijata di Jakarta, akhir pekan lalu.
Pemerintah menargetkan penerimaan APBN 2010 dari sektor cukai hasil tembakau Rp55,9 triliun, lebih tinggi dari 2009 Rp54,4 triliun dan tahun 2008 Rp49 triliun. Pemerintah memang belum bisa memperkirakan kemungkinan penurunan penerimaan cukai hasil tembakau akibat fatwa itu. Alasannya, fatwa haram baru saja dikeluarkan dan potensi kehilangan pendapatan dari cukai hasil tembakau belum dihitung.
Fatwa haram merokok yang dikeluarkan PP Muhammadiyah tampaknya tidak langsung berdampak secara signifikan terhadap kinerja industri rokok dalam negeri. Karena selain fatwa haram,banyak faktor lain yang memengaruhi industri rokok.
Ini masalah serius yang harus dikaji bersama, tidak hanya dari aspek kesehatan, melainkan juga dari aspek ekonomi, politik, dan sosial. Pengkajian ini menjadi domain pemerintah, karena pemerintahlah yang dapat memberikan jalan keluar atas polemik serius dalam kampanye antirokok. Pemerintah tidak bisa diam, sebab industri rokok telah memberikan kontribusi sangat besar dalam hal keuntungan dan pajak kepada pemerintah.
Pemerintah jangan bersikap ambigu, di satu sisi pura-pura ikut terlibarkampanye annrokok, tetapi di balik itu pemerintah juga berharap banyak dari pajak dan cukai rokok yang sangat besar. Jadi pemerintah harus bersikap tegas cepat turun tangan. Kita tidak ingin terjadi "perang" antara mereka yang antirokok dengan kalangan industri rokok hingga berdampak terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat.
Bahkan tidak menutup kemungkinan, perang antirokok ini bisa berpengaruh secara politis. Dari pengalaman setiap negara dalam memberlakukan masalah antirokok, hal demikian hanya terbatas pada formalitas di mana pemerintah hanya memberi imbauan kepada semua pabrikan agar kemasan rokok ditulisi sebuah peringatan bahwa merokok itu tidak baik bagi kesehatan.
Karena beban biaya kesehatan dari konsumsi rokok yang harus ditanggung oleh penduduk miskin relatif lebih besar bila ibandingkan dengan golongan mampu. Sedangkan efek yang ditanggung relatif sama, namun kemampuan pendanaan berobat golongan kaya lebih besar ketimbang penduduk miskin.
Biaya ekonomi yang harus ditanggung masyarakat adalah menurunnya produktivitas kerja. Seorang pegawai yang kecanduan tembakau akan lebih rentan terkena berbagai penyakit Dengan demikian, jumlah hari di mana mereka bisa bekerja berkurang dengan adanya gangguan kesehatan yang memaksa mereka berisitirahat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar